Berselang 8 tahun, mimpi buruk yang dulu melanda dan menyapu Desa Sijeruk di Banjarnegara, Jawa Tengah kembali terulang. Jumat 12 Desember 2014 pukul 17.30 WIB, Dusun Jemblung di Kecamatan Karangkobar dalam hitungan detik lenyap ditimbun tanah longsor.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat, bencana longsor ini telah meluluhlantakkan 150 rumah yang dihuni oleh 53 kepala keluarga atau sekitar 300 jiwa.
Kepiluan pun seketika melanda warga yang kehilangan anggota keluarganya. Suasana duka juga terasa menyayat di Puskesmas setempat, dimana para warga berdatangan mencari tahu keberadaan keluarga dan kerabatnya.
Dengan bergerak cepat, Tim SAR dengan dibantu TNI-Polri dan aparat terkait, bahu-membahu mengintensifkan pencarian korban longsor. Selama sepekan tak pernah lelah mereka terus mencari sejumlah korban yang masih hilang. Kesulitan sudah jelas dihadapi oleh tim di lapangan. Anjing pelacak pun turut diterjunkan guna memudahkan menemukan korban.
2 hari pascabencana Longsor, Presiden Joko Widodo dan menteri terkait, langsung meninjau proses evakuasi korban longsor yang diperkirakan masih tertimbun material tanah.
Presiden Jokowi juga sempat mengunjungi pengungsi yang berada di Desa Karangkobar. Tercatat, ada 300 pengungsi yang tersebar di sejumlah titik.
Wilayah Banjarnegara memang memiliki titik-titik yang rawan dengan pergerakan tanah. Dalam 1 tahun, rata-rata longsor terjadi 2 sampai 3 kali.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, sistem peringatan dini longsor di Banjarnegara sebenarnya telah lama terpasang, namun alat itu rusak sehingga tidak berfungsi normal. Sangat rawan pergerakan tanah, begitulah kondisi Desa Jemblung di Karangkobar berdasarkan pantauan Menteri Pekerjaan Umum.
Sesuai dengan peta geologi Kementerian ESDM, wilayah Banjarnegara yang berada di perbatasan Jawa Barat - Jawa Tengah terletak di wilayah dataran tinggi.
Dengan dikelilingi gunung dan perbukitan, dan lebih banyak ditandai dengan zona kuning dan merah, zona itu juga disebut dengan segitiga rawan longsor. Daerah itu yaitu Banjarnegara, Wonosobo, dan Gunung Dieng.
Menyikapi kondisi itu, Pemprov Jawa Tengah menegaskan, tidak ada pilihan lain. Proses pemindahan penduduk atau relokasi harus dilakukan secepatnya.
Namun tak semudah itu, proses relokasi menemui kendala, yaitu penolakan dari warga. Mereka yang menolak antara lain sekitar 200 warga dari 35 keluarga di Desa Sampang yang terletak hanya 2 km dari lokasi kejadian.
Mereka enggan pindah karena sebagian besar tanah yang ditempati adalah milik nenek moyang, padahal kemiringan tanah di sekitar lokasi bencana mencapai 40 hingga 60 derajat. Hal itu bisa memicu longsor susulan sewaktu-waktu. Perumahan yang dibangun permanen itu bahkan telah retak-retak pada bagian perkarangan rumah.
sumber: http://www.liputan6.com
0 comments:
Post a Comment